Friday, August 7, 2009

LMDS (Local Multipoint Distribution Services)

Local Multipoint Distribution Services (LMDS)

Local Multipoint Distribution Services (LMDS) adalah suatu sistem komunikasi wireless pita lebar point-to-multipont yang bekerja pada frekuensi 20-40 GHz menyedikan layanan suara, data, internet dan layanan video. Penggunaan frekuensi LMDS tergantung pada lisensi tiap-tiap negara.



Sistem LMDS menggunakan sistem seluler untuk arsitektur jaringannya. Dalam perencanaan sistem trasnmisi gelombang elektromagnetik di bawah frekuensi 10 GHz, redaman yang diakibatkan oleh hujan tidak terlalu diperhitungkan karena redaman perkilometernya masih dianggap kecil. Tetapi jika di atas 10 GHz, redaman yang diakibatkan oleh hujan meningkat tajam sehingga sangat perlu untuk dipertimbangkan. Untuk dapat mengetahui proses dan besarnya gangguan gelombang elektromagnetik oleh hujan, perlu diketahui sifat dan kondisi hujan serta parameter-parameter yang mempengaruhi terjadinya redaman, misalnya ukuran, sudut condong, intensitas dan panjang lintasan yang melewati daerah hujan.

Pada frekuensi LMDS yang menjadi masalah utama adalah redaman akibat hujan. Perhitungan redaman hujan ditentukan oleh informasi tentang curah hujan yang pada daerah tersebut, seluruh perhitungan terhadap curah hujan dilakukan dengan menggunakan satuan milimeter per jam (mm/h). Hujan lebat dapat mengakibatkan kerusakan yang serius terhadap sinyal untuk propagasi dengan frekuensi LMDS, namun biasanya daerah cakupan hujan terbatas dan tidak seluruh daerah yang terkena hujan memiliki curah hujan yang rata atau sama. Banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari proses dan besar gangguan gelombang elektromagnetik oleh hujan, tetapi hasil-hasil pendekatan teoritis masih banyak berbeda dengan fakta-fakta yang diamati. Namun demikian sebagian proses terjadinya gangguan dapat dijelaskan secara fisis sedangkan gangguan yang bersifat random dapat dihitung dengan pendekatan-pendekatan statistik.


Propagasi gelombang radio

1. Propagasi gelombang radio radio kondisi clear sky

Suatu gelombang elektromagnetik yang melintas dari antena pengirim (Tx) ke antena penerima (Rx) atau sebaliknya akan mengalami penurunan daya yang disebabkan adanya lapisan ruang hampa dan zat-zat yang berada di atmosfer seperti oksigen, uap air, awan, kabut, dan hujan. Besar penurunan daya yang terjadi dipengaruhi oleh jarak yang ditempuh, zat-zat atau partikel-partikel di udara dan udara terbuka itu sendiri. Secara umum besarnya daya terima diperlihatkan pada rumus berikut[1]

PR = PT – Atotal + GT + GR


dengan, PR merupakan daya terima dengan satuan dBW, PT daya pancar dengan satuan dBW, sedangkan GT adalah gain antena pemancar (dB), dan GR merupakan gain antena penerima (dB), Atotal adalah redaman total (dB).

Atotal seperti yang ditunjukkan pada rumus di bawah ini

Atotal = Afs + Ap


dengan, Afs (redaman free space) merupakan besar redaman selama melewati udara dengan satuan dB, sedangkan Ap merupakan redaman yang disebabkan oleh partikel-partikel di udara dalam satuan dB. Redaman yang diakibatkan hujan merupakan penyebab yang paling dominan dalam meredam sinyal dibandingkan zat-zat lain yang ada di atmosfer. Hujan mengakibatkan penghamburan gelombang radio yang menyebabkan redaman. Derajat redaman hujan merupakan fungsi frekuensi, curah hujan dan distribusi daerah sepanjang lintasan. Hujan akan menyebabkan energi gelombang mikro mengalami penghamburan (scatter) dan penyerapan (absorbsi) sepanjang lintasan komunikasi. Sehingga kualitas komunikasi mengalami penurunan akibat redaman hujan. Terlebih lagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis karena hanya memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Sehingga musim hujan terjadi hampir setengah dari setahun. Selain itu Indonesia dikenal mempunyai curah hujan yang sangat tinggi, sehingga efek dari redaman hujan sangat penting untuk dicermati



[1] Hendrantoro G, Handayani P., “Gelombang Datar dan Propagasi Ruang Bebas”, Handout Kuliah Propagasi dan Sistem Komunikasi Radio, 2006.


2. Propagasi gelombang Millimeter dibawah kondisi hujan

Hujan menyebabkan beberapa fenomena pada propagasi gelombang elektromagnetik diantaranya redaman sinyal, penambahan noise temperature dan perubahan polarisasi (Crane, 2003). Ketiga fenomena tersebut menyebabkan degradasi kualitas sinyal yang diterima terutama pada penggunaan frekuensi tinggi seperti Ka-band. Dari beberapa efek hujan diatas, redaman sinyal merupakan efek yang paling signifikan pada keberhasilan komunikasi pada gelombang millimeter ini. Redaman disebabkan oleh scattering dan absorbsi gelombang elektromagnetik oleh titik-titik air hujan. Scattering akan menghamburkan sinyal, sedangkan absorbsi akan menyebabkan resonansi sinyal dengan molekul air.

Redaman akan bertambah sebagai fungsi panjang gelombang dan ukuran titik hujan. Panjang gelombang dan frekuensi berhubungan dengan persamaan fc×=λ dimana λ adalah panjang gelombang, f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan cahaya (). Sedangkan diameter titik hujan bervariasi 1,35 mm hingga 4 mm (Oghuci, 1983). Sehingga dalam propagasi gelombang millimeter yang berada pada band frekuensi 30-300 GHz atau panjang gelombang 1 cm – 1 mm maka titik-titik hujan akan meredam sinyal terutama hujan yang deras yaitu hujan dengan diameter yang cukup besar

3. Variasi Spasial dan Temporal Intensitas Curah Hujan

Curah hujan adalah tingkat turun hujan tepat pada waktu tertentu, biasanya dinyatakan dalam mm/h. Menurut Bogush, karakteristik hujan stratiform bermula dari pelelehan lapisan salju (melting layer) pada ketinggian 00-isotherm dan memiliki curah hujan kurang dari 25 mm/h, durasinya lebih dari satu jam, cakupan lokasinya luas. Sedangkan karakteristik hujan convective bermula dari gerakan turbulen dan awan hujan yang tidak melalui proses pendinginan sampai ke suhu dibawah nol dan memiliki curah hujan yang tinggi, diatas 25 mm/h, durasinya singkat hanya beberapa menit biasanya disertai badai, cakupan lokasinya tertentu.

Hujan convective disebabkan oleh permukaan yang memanas, dan mengakibatkan pengangkatan lapisan udara monsoonal (udara yang lembab) ke udara sehingga terbentuklah awan kumulus atau cumulonimbus yang akan mengakibatkan hujan badai lokal (local rainstorms) dan hujan badai yang turun mendadak (squall line). Rainstroms diakibatkan oleh pemanasan yang tinggi dari permukaan daratan terbuka seperti padang rumput, wilayah perkotaan yang besar, tanah lapang dan gunung yang berbatu-batu serta penebangan hutan secara besar-besaran. Cakupan areanya terbatas sekitar 20-50 km2, tergantung pada besarnya ukuran awan kumulus dan event hujannya sekitar 1 sampai 2 jam. Sedangkan squall lines merupakan hujan yang disebabkan oleh awan cumulonimbus dengan panjang sekitar 200 km dan ketebalan awannya 6-10 km. Untuk awan cumulonimbus yang kecil luasnya berkisar 10-20 km


Pada pembahasan lain, penyebaran hujan pada suatu daerah dapat dipantau dengan pemasangan sukat hujan (rain gauge) yang tersebar mewakili daerah yang dikaji. Menurut Hadi, penelitian dengan menggunakan 22 alat ukur hujan pada lokasi pengukuran dengan luas 160 km2, sebaran hujan mempunyai karakteristik tergantung pada luasan daerah, makin sempit daerah kajian makin homogen sebaran hujannya. Pada dasarnya hujan yang jatuh dan tercatat pada suatu rain gauge mempunyai keseragaman dengan hujan yang tercatat pada rain gauge di dekatnya, baik saat jatuhnya (waktu) maupun keintensitasannya. Dalam keseharian sering dilihat fenomena yang menarik tentang kejadian hujan. Pada awal kejadiannya, sering hujan terjadi seolah-olah bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kemudian secara berangsur hujan menjadi merata dengan persebaran yang lebih luas. Fenomena kejadian hujan tersebut dengan serta merta dikaitkan dengan awan penyebabnya. Kalau sebaran awan merata, maka dapat diduga hujan akan jatuh secara merata, demikian pula sebaliknya. Selain faktor awan, faktor angin (kecepatan dan arah) sedikit banyak juga mempengaruhi sebaran hujan. Faktor kelembaban udara, temperature udara, dan masih ada beberapa

faktor lainya yang mempengaruhi terjadinya hujan. Pada daerah perbukitan atau bahkan pegunungan, faktor topografi dapat menyebabkan perbedaan intensitas hujan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbedaan intensitas hujan ini dapat disebabkan adanya pengaruh hujan orografis. Hujan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara dan temperatur udara yang mencolok antara tempat yang rendah dengan tempat yang tinggi pada kawasan pegunungan. Selain faktor perbedaan temperatur dan tekanan udara ini, juga dipengaruhi oleh arah angin yang membawa kandungan uap air.

Untuk periode pencatatan yang lebih pendek nilai korelasinya (r) cenderung lebih kecil bila dibandingkan nilai r pada periode pencatatan harian statistik hubungan antara kejadian hujan yang tercatat pada satu setasiun dengan setasiun lainnya dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien korelasi. nilai r ini juga masih menunjukkan kecenderungan makin jauh jarak, makin rendah nilai r. Terdapat kecenderungan perbedaan sebaran titik-titik pada setiap periode hujan maupun metode interpolasi. Namun kesemuanya menunjukkan kecenderungan makin banyak jumlah site yang dikurangi, makin kecil nilai koefisien korelasinya.

Pada pembahasan lain, hal nyata yang dapat digunakan pada suatu lokasi yang mempunyai keandalan sistem relay micowave adalah distribusi probabilitas curah hujan. Menurut Drufuca dan Zawadzki hal tersebut berdasarkan data selama 10 tahun dari alat ukur hujan pada

McGill Observatory di Montreal. Alat ukur ini mengambil setiap 0.01 dari pengumpulan hujan, yang merupakan instrumen (alat) standard dari Badan Meteorologi Canada, alat yang serupa banyak digunakan di dunia. Karena intensitas curah hujan yang tinggi mempunyai durasi yang pendek, maka dihilangkan dengan membuat rata-rata hanya dalam beberapa menit. Ringkasan data dari badan meteorologi nasional tidak meliputi intensitas curah hujan untuk interval waktu kurang dari 5 menit, dan dalam beberapa kasus hanya diambil perhari saja. Untuk memperoleh data hujan lebat dengan jangka waktu yang pendek hal tersebut didapatkan dari data alat ukur hujan, atau dapat dilakukan beberapa koreksi secara empiris untuk meramalkan ringkasan data dalam waktu rata-rata yang pendek. Rice dan Holmberg mengusulkan model empiris untuk membuat kurva probabilitas intensitas curah hujan 1 menit untuk menentukan lokasi tertentu hanya dari rata-rata intensitas curah hujan tahunan.

Kurva probabilitas kumulatif merupakan penjumlahan dari tiga mode eksponensial, untuk semua tempat, salah satunya menjelaskan tentang peranan hujan lebat dari hujan badai, dua yang lainnya menjelaskan tentang semua jenis hujan yang lain. Beberapa pendekatan yang berbeda untuk kasus yang sama dapat dijelaskan oleh Lenhard, yang mencoba menjelaskan kurva probabilitas curah hujan 1 menit pada lintasan statistik hujan. Umumnya metode ini tidak digunakan. Wilayah iklim yang berbeda dapat dikarakteristikkan dengan kurva probabilitas curah hujan yang berbeda, dan biasanya redaman ini mempunyai pengaruh yang besar pada frekuensi komunikasi saat terjadi peningkatan hujan lebat







No comments:

Post a Comment